Percaya Tanpa Melihat

Percaya tanpa melihat

Benarkah manusia bisa mempercayai sesuatu tanpa melihat hakikatnya lebih dulu? Bisa.
Seseorang tidak perlu melihat wujud Allah untuk beriman, tapi cukup mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan-Nya seperti bagaimana terciptanya semesta ini.

Simulasinya begini, suatu hari kamu mengenal 2 toko grosir baju yang harganya berbeda jauh padahal barang yang dijual sama persis, lalu secara insting hati kamu akan memilih toko yang harga grosirnya paling murah bukan?

Anggap saja baju merk Eksternal di toko A seharga Rp.90.000,- sedangkan di toko B baju tersebut dibanderol Rp.60.000,- kemudian kamu memborong baju itu dari toko B dan akan menjualnya dengan harga Rp.85.000,- dan berkeyakinan akan mendapatkan laba sebesar Rp.25.000,-.
Pertanyaannya sudahkah kamu melihat hakikat uang Rp.25.000,- tersebut?

Atau begini, jika seseorang lapar maka untuk menuju kenyang dia harus makan, padahal pada saat sebelum dia makan dia tidak bisa melihat hakikat dari kenyang itu, lalu bagaimana dia bisa mempercayai bahwa jika dia makan maka akan kenyang.

Sekian adalah jawaban mengapa saya percaya mencintaimu hanya lewat pesan-pesan itu. Eaaaaaaak

Img: francecociccolella

Boleh Fanatik Asal Tidak Bodoh

Kita boleh fanatik pada sesuatu tapi tidak boleh bodoh.

Misalnya saja kita sebagai orang desa fanatik pada NU kemudian mereka yang di kota fanatik terhadap kelompok 212 dan semacamnya. sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua kelompok itu saling bertentangan dalam beberapa poin kecil saja, namun memiliki kesamaan dalam beberapa poin yang lebih besar.

Pertanyaannya, sejak kapan sesuatu yang kecil bisa menggeneralisasi sesuatu yang besar?

Yang perlu disadari bahwa perbedaan dari keduanya hanya beberapa saja, bukan keseluruhan. Antara NU dan 212 sama-sama mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa dan Muhammad adalah Nabi-Nya, dan itu adalah suatu pondasi utama untuk mereka pegang.
Namun anehnya fanatik dari keduanya malah menjadikan statement seakan-akan keduanya adalah musuh.

Aneh, lah sama-sama mengimani Allah Esa kok dianggap musuh? Secara logika harusnya kan yang menjadi musuh itu mereka yang tidak mengakui Allah itu Esa dan Muhammad adalah nabi terakhir.
Atau jangan-jangan yang menjadikan mereka bermusuhan hanya karena beda pilihan politik? Nauzubillah banget ya.

Terus terang saya menulis ini karena resah beberapa orang yang mengaku NU menampilkan mimik wajah benci saat melihat kelompok 212 yang memakai cadar, pun sebaliknya teman-teman dari 212 yang memakai cadar merasa paling benar dan mengira bahwa bercadar di luar shalat bagi wanita itu hukumnya wajib, sehingga mereka yang tidak memakai cadar berarti dosa.
Permasalahan sebenarnya itu bukan wanita memakai cadar atau tidak, masalahnya adalah wanita yang mau berpakaian menutup aurat atau tidak itu lho gaes, ya Allah.
Oh ya, masalah cadar ini bisa dilihat di kitab I’anah at-Thalibin dan atau Hasyiyah Bujairimi dll.

Kita ini terlalu sering menghukumi sesuatu dengan kebodohan, ibaratnya gak pernah praktek dan baca tutorial masak ikan asin, kok menghukumi semua ikan asin yang dimasak itu enak. Masuk gak sih pengibaratannya? Wkwk

Intinya, kita ini kenapa sih? Eh saya ding yang kenapa sih.
Semoga setelah ini saya gak dianggap liberal, salam uwu.

Primordialisme

Aku dan mungkin kamu, Dik. Adalah seseorang yang seringkali mengedepankan pandangan primordialisme, memegang teguh hal-hal yang kita bawa sejak kecil.

Cara berpikir kita selalu berdasarkan dengan lingkungan, istiadat maupun kepercayaan yang kita warisi.

Kita sulit mempercayai apa-apa yang bersebrangan dengan kebiasaan hidup, dan dengan lantang kita berani memutuskan bahwa hal yang tidak “seperti biasanya” maka hal itu mustahil atau bahkan tidak benar.

Kita terlanjur percaya dan hanyut pada sebab akibat yang biasa kita lihat, andai nanti aku menanam benih padi, pasti yang kamu bayangkan panennya adalah padi, padahal bisa saja benih padi membuahkan semangka. Dan itu bukanlah hal mustahil atau ghaib.

Pola pikir kita tidak hanya sebab-akibat, banyak hal lain yang perlu kita pelajari. Bahwa hidup ini tidak mengalir, aku dan kamu adalah objek kesengajaan dari Tuhan.

Kalau kau sedang membaca surat Al-Baqarah, Dik. cobalah pahami arti “orang yang percaya akan hal ghaib dan mendirikan sholat” adalah “mereka yang yang mendapatkan petunjuk dari Allah dan mereka adalah orang yang beruntung”

Maka suatu hari jika kalimat-kalimat doaku ditiup angin dan menutup jendela kamarmu saat kamu kedinginan, percayalah itu bukan sekedar ketidaksengajaan.

Keseimbangan

Ada beberapa orang yang tidak ingin dipandang baik, sehingga ia memburamkan dirinya seolah-olah berada diantara kebaikan dan keburukan, netral.

Karena memang yang ia ketahui, beberapa kebaikan justru bisa dicapai jika seimbang dengan keburukan. Maksudnya manusia tidak bisa terisi penuh 100% poin positif, ia harus membagi angka tersebut dengan beberapa keadaan yang lain. Ingat bukan? Bahwa tiap mata air harus ada comberannya.

Kehidupan sehari-hari membawa kita belajar hal banyak, diantaranya manusia akan lebih bahagia jika ia dipuji dan ia akan sedih saat dicaci. Tidak ada yang salah dengan kebiasaan seperti itu, hukum alam.

Namun tidak semua hukum alam bisa begitu saja kita telan, kita perlu mempelajarinya agar perjalanan ini nyaman sampai tujuan.

Andai kita dalam keadaan dicaci oleh seorang pencaci, apakah kita berhak untuk membencinya?
lalu jika kita sedang disanjung oleh seorang penyanjung, apakah kita harus selalu berusaha tampil baik dihadapannya?

Tentu jawaban keduanya adalah, tidak.

Sebab kita tahu bahwa beberapa manusia senang melakukan dosa besar melebihi pencaci maki yang tidak melakukan dosa besar. Lalu dari sudut pandang mana kita harus membenci seseorang yang hanya mengeluarkan kata-kata pahit untuk kita padahal bisa saja kata-kata pahit yang keluar dari pencaci itu memang realita ada di tubuh kita.
perkara apa yang bisa membenarkanmu untuk membenci orang tersebut?

Dan perkara apa yang memperkuat keyakinamu untuk selalu tampil sempurna dihadapan orang yang memujimu? Padahal bisa saja orang yang memujimu hari ini adalah orang yang sedang mencaci orang lain dan atau suatu saat nanti akan menjatuhkanmu?

Ini bukan masalah tentang “orang yang berlaku baik pada kita harus kita perlakukan baik kembali, dan orang yang berlaku buruk terhadap kita harus kita perlakukan buruk untun membalasnya”

Jika rumusnya selalu demikian, maka beberapa orang akan kesulitan mencapai derjat ikhlas. Bagaimana tidak, karena ia akan terus beranggapan bahwa saat ia melakukan kebaikan terhadap orang lain maka ia berharap suatu saat akan mendapat balasan kebaikan.
dan orang yang berlaku buruk akan sulit berbenah diri karena ia selalu berprasangka buruk terhadap Allah SWT dan tak mempercayai hidayah.

Wallahu a’lamu.