Jalan Ma’rifat


Cahaya Pohon Ma'rifat

Bismillah…
Maka, saya memohon izin kepada Daeng AndiBombang, Mama Ajengan Muhammad Kahfi (alm), segenap mursyid serta sahabat2 salik Tarekat Haqmaliyah untuk sekedar menyebarkankan sekelumit makna dari Kitab Ma’rifatullah. Semoga ini memberi kemanfaatan bagi kita semua. Amin.

***

Makrifat kepada Allah dapat ditempuh dari dua jalan, yaitu dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Yang dari bawah ke atas antara lain dengan menyantri di pondok pesantren, mengaji kitab Qur’an, serta tekun menjalani rukun yang lima perkara. Perihal seperti ini adalah jalan makrifatullah. Namun sayangnya, kebanyakan para penempuh jalur ini tidak sampai kepada tujuan karena tertahan di martabat asma. Terlanjur betah di kenikmatan tataran ‘papan petunjuk’. Padahal kalau berlanjut, akan tiba di tataran yang lebih mulia yaitu martabat dzat dan sifat-Nya. Sedangkan baru di martabat asma pun telah sedemikian nikmatnya.

Jalan yang dari atas ke bawah, ditempuh dengan mencukupkan terlebih dahulu dalil awwalu dinni ma’rifatullah. Caranya bukan hanya dengan menyantri di pondok pesantren saja, melainkan juga mesti disertai dengan usaha pengekangan diri. Harus mau tirakat mengiring ikhtiar mencari guru pembimbing yang mursyid. Sebab, tidak akan bisa paham jika tanpa guru. Maka, ke mana kita harus mengarahkan langkah? Tidak ada lain, mengarahlah ke tarekatnya wali. Sebab, itulah yang bisa memakrifatkan kita kepada sifat Allah yang disebut jauhar awwal atau hakikat muhammad. Ada jalurnya bagi kita semua. Para wali pun pun sampai sedemikiannya bertirakat adalah untuk membela umat Rasulullah supaya bisa kembali pulang kepada Allah ta’ala.

Oleh karena itu, marilah kita bersama2 mencari tarekat wali tadi. Sebab kalau tidak cepat2, maka kita tidak bisa pulang ke ‘negeri’ asal. Nyawa (ruhaniyah) kita kelak akan tertahan melayang2 atau merasuk kembali ke alam dunia, ke martabat benda yang kelak pun akan rusak. Tidak mampu mencukupkan dalil inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun; bermula dari-Nya, kembali kepada-Nya.

Barangkali saudara2 sekalian masih belum mengerti, agak2 tidak percaya juga, karena tidak (belum) mampu merasakan bahwa diri kita ini bermula dari Allah yang lantas kemudian diturunkan ke alam dunia. Namun karena dalilnya demikian, cepat2lah kita mengaku kalau kita ini datang dari Allah. Tapi pengakuannya itu sebatas di bibir saja. Terpaksa mengaku karena kuatir disebut kafir oleh sebab tidak percaya kepada dalil. Sementara hatinya tetap saja gelap, tidak paham karena memang tidak (belum) merasakan. Oleh karena itu, sekarang saya akan memberi sedikit penerangan supaya kita bisa percaya bersama dengan rasanya bahwa kita berasal dari Allah. Mari kita telusur dari atas ke bawah supaya bisa diterima akal.

Asal kita datang dari mana? Yang dipahami secara umum, kita ‘datangnya’ dari (rahim) ibu. Lanjutkan meniti ke atas. Kalau ibu datang dari mana? Tentu, ibu kita keluar dari nenek. Kalau nenek, asalnya dari mana? Tidak salah lagi, dari buyut. Kalau buyut, dari mana? Tentulah dari bao. Kalau bao, dari mana? Dari janggawerang lah. Kalau janggawerang, dari mana? Tentunya dari udeg-udeg. Kalau udeg-udeg, dari mana? Yaa, dari
kakawit siwur dong. Dan seterusnya…, dari ibunya lagi, dari ibunya lagi, dari ibunya lagi… hingga kemudian sampai kepada Siti Hawa. Nah, kalau Siti Hawa dari mana? Kalau menurut hadits, asalnya dari tulang rusuk Nabi Adam. Trus, kalau Nabi Adam dari mana?

Diterangkan oleh hadits, asalnya Nabi Adam adalah dari saripati tanah-api-air-angin. Kalau tanah-api-air-angin, datang dari mana? Diterangkan oleh hadits, asalnya dari nur muhammad, yaitu cahaya empat perkara: cahaya hitam – hakikat tanah, cahaya putih – hakikat air, cahaya kuning – hakikat angin, dan cahaya merah
– hakikat api.

Kalau nur muhammad, asalnya dari mana? Menurut keterangan dari hadits, asalnya dari Nur Maha Suci, yaitu jauhar awwal. Selepas ini, habis. Karena sudah dijelaskan di hadits dan Qur’an bahwa jauhar awwal adalah bibitnya tujuh bumi tujuh langit berikut segala isinya. Maka, yang dimaksud dengan dalil ‘bermula dari Allah’ adalah dari jauhar awwal ini.

Sifatnya terang benderang, yaitu ‘gulungan’ Dzat bersama Sifat-Nya Yang Maha Suci. Setelah ini barulah ada Asma Allah, dimana cahaya merah menjadi hakikat lafadz alif, cahaya kuning menjadi hakikat lafadz lam awal, cahaya putih menjadi hakikat lafadz lam akhir, cahaya hitam menjadi hakikat lafadz ha, jauhar awwal menjadi hakikat tasjid.Demikianlah keterangannya. Maka, cahaya2 yang disebutkan di atas itulah yang disebut Ismudzat. Artinya, Dzat laisa kamishlihi atau nama-Nya yang Maha Suci. Kata para ahli dzikir, itulah latifah.

Kembali kepada anda, makanya mestilah wajib diketahui ini dari sekarang. Segera bergabung dengan tarekat yang bisa membuang hijab atau penghalang yang menghalangi kita dari ‘memandang’ Dzat Sifat-Nya Allah ta’ala. Temukanlah hakikat tasjid muhammad yang ada pada masing2 kita. Itu adalah kunci muhammad yang dapat meruntuhkan penghalang2 di antara kita dengan Allah ta’ala.

Sekiranya ketemu, insya Allah kita dapat mencukupkan perintah kembali ke jati atau pulang ke asal. Kembali ke jati bermakna kembalinya rasa jasmaniyah yang sekarang sedang kita kenakan ini kepada rasa ketika berada
di martabat Nurullah (jauhar awwal). Sementara, pulang ke asal bermakna jasmaniyahnya kembali menjadi asalnya lagi yaitu nur muhammad cahaya
empat rupa. Kalau kembali ke asal, maknanya sempurna, habis bersih. Habis rasanya, habis pula jasmaniyahnya.

2 pemikiran pada “Jalan Ma’rifat

Tinggalkan komentar